1. Perkembangan
burung secara umum
Kalau
kamu cukup lama memandang ke langit, kemungkinan kamu akan melihat burung
terbang melintas. Makhluk berbulu dan berdarah panas ini merupakan makhluk
terbang terbesar dan terahli di seluruh di antara semua makhluk hidup (Parker,
2014: 50).
Banyak
ciri-ciri burung merupakan adaptasi yang memfasilitasi kemampuan terbangm
termasuk modifikasi peringan-tubuh yang menjadikan terbangnya menjadi lebih
efisien. Misalnya, burung tidak memiliki kandung kemih, dan betina dari
kebanyakan spesies burung hanya memiliki satu ovarium. Gonad betina maupun
jantan berukuran kecil, kecuali pada saat musim kawin, saat berukuran kecil,
kecuali pada saat masa kawin, saat ukuran gonad membesar. Masih ada juga yang
tidak memiliki gigi adaptasi yang memangkas bobot kepala (Campbell, 2012:
292).
Jenis
burung yang paling awal dan primitif yang diketahui adalah Archaeopteryx, yang berarti “Sayap Kuno”. Burung ini kurang lebih sebesar gagak dan
tertutup bulu. Anggota tubuh bagian depannya sudah berbentuk sayap sepenuhnya,
tapi lebih kecil dan lebih lemah daripada sebagian besar sayap burung sekarang
ini (Parker, 2015: 56).
Sewaktu
dinosaurus punah 65 juta tahun yang lalu, ada ratusan jenis burung. Beberapa
adalah spesies pemburu atau pemakan daging, sementara lain nya menyantap buah-buahan
dan biji-bijian. Selama periode waktu berikutnya, banyak jenis burung yang
muncul dan menghilang (Parker, 2014: 57).
Beberapa
burung punah baru-baru ini dan mungkin diburu oleh manusia. Burung moa raksasa
Selandia Baru tingginya lebih dari 2,7 meter saat berdiri dan masih hidup
beberapa ratus tahun yang lalu (Parker, 2015: 57).
(a)
(b)
(Sumber: Chaterin, 2016:1 dan Afandi, 2015:1 )
2. Morfologi
burung perkutut
Burung
tekukur memiliki ukuran tubuh sedang (30 cm), berwarna cokelat kemerahjambuan.
Ekor tampak panjang dan bulu ekor terluar memiliki tepi putih tebal. Bulu sayap
lebih gelap dari pada bulu tubuh, dan terdapat garis-garis hitam khas pada
sisi-sisi leher (jelas terlihat), serta berbintik putih halus. Iris mata
berwarna jingga, paruh hitam, dan kaki merah (Saputro, 2011: 4 ).
Menurut
(Saputro, 2011: 3) klasifikasi lengkap dari burung tekukur (Streptopelia
chinensis):
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub
phylum : Vertebrata
Class
: Aves
Ordo
: Columbiformes
Sub
ordo : Columbae
Familia
: Columbidae
Sub
Familia : Columbinae
Genus
: Streptopelia
Spesies
: Burung tekukur (Streptopelia chinensis)
Gambar
3. Burung tekukut (Streptopelia chinensis)
(Sumber:
Saputro, 2011: 3)
3. Sistem
pencernaan burung
Menurut
Darsono (2015: 1-2) Sistem pencernaan burung melalui:
a.
Rongga mulut. Di dalam
rongga mulut makanan akan bercampur dengan saliva atau ludah. Air ludah pada
burung berguna sebagai bahan lubrikasi air.
b.
Tembolok. Tembolok
merupakan saluran yang menghubungkan lambung dengan rongga mulut. Tembolok
terletak pada tenggorokan bagian akhir. Pada tembolok makanan hanya numpang
lewat saja dan tidak mengalami proses pencernaan. Tembolok juga menjadi tempat
untuk menampung dan menimbun makanan
c.
Lambung. Di dalam
lambung makanan mengalami pencernaan secara enzimatis dengan bantuan getah
lambung. Lambung menghasilkan enzim pepsin, renin dan asam klorida (HCL)
d.
Ampela (Gizzart). Di
dalam gizzart terjadi proses pelumatan makanan dengan bantuan grift. Grift
membantu pelumatan makanan menjadi partikel yang lebih kecil dengan permukaan
yang luas sehingga mudah ubtuk penetrasi enzim.
e.
Usus halus. Usus halus
pada burung tersusun atas duodenum, jejunum dan ileum. Di dalam duodenum
terjadi proses penyerapan makanan. Pencernaan makanan di dalam usus halus
dibantu oleh cairan empedu, enzim pankreas dan enzim usus. Empedu berfungsi
untuk mengelmulsikan lemak, mengaktifkan lipase dan menghidrolisis lemak.
f.
Usus besar. Didalam
usus masih terjadi proses pencernaan makanan yang belum dicerna oleh usus
halus. Di dalam usus besar terjadi pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang
belum terhidrolisis oleh enzim.
g.
Kloaka. Sisa sari-sari
makanan yang tidak diserap oleh tubuh di dorong oleh usus besar menuju rektum
selanjutnya dikeluarakan melalui kloaka.
4. Sistem
Pernapasan burung
Mekanisme pernapasan pada burung dibedakan menjadi
dua, yaitu pernapasan waktu istirahat dan pernapasan waktu terbang. Pada waktu
istirahat, tulang rusuk bergerak ke depan, rongga dada membesar, paru-paru
mengembang sehingga udara masuk dan mengalir lewat bronkus ke kantung udara
bagian belakang, bersamaan dengan itu udara yang sudah ada di kantung udara belakang
mengalir ke paru-paru dan menuju kantung udara depan. Pada saat tulang rusuk
kembali ke posisi semula, rongga dada mengecil sehingga udara dari kantung
udara masuk ke paru-paru. Selanjutnya, saat di alveolus, O2 diikat
oleh darah kapiler alveolus. Jadi, pengikatan O2 berlangsung pada
saat inspirasi maupun ekspirasi (Alfiansyah, 2011: 2-3).
Pada waktu terbang, inspirasi dan ekspirasi
dilakukan oleh kantung-kantung udara. Waktu sayap diangkat ke atas, kantung
udara di ketiak mengembang, sedang kantung udara di tulang korakoid terjepit,
sehingga terjadi inspirasi (O2 pada tempat itu masuk ke paru-paru).
Bila sayap diturunkan, kantung udara di ketiak terjepit, sedang kantung udara
di tulang korakoid mengembang, sehingga terjadi ekspirasi (O2 pada
tempat itu keluar). Makin tinggi burung terbang, makin cepat burung mengepakkan
sayapnya untuk mendapatkanoksigen yang cukup banyak (Alfiansyah, 2011: 3).
Udara luar yang masuk, sebagian kecil tetap berada
di paru-paru, dan sebagian besar akan diteruskan ke kantung udara sebagai udara
cadangan. Udara pada kantung udara dimanfaatkan hanya pada saat udara (O2)
di paru-paru berkurang, yakni saat burung sedang mengepakkan sayapnya
(Alfiansyah, 2011: 3).
5.
Sistem
Genitali
Sistem genitalia jantan terdiri atas. Testis berjumlah sepasang, berbentuk
oval atau bulat, berwarna putih, bagian permukannya licin, terletak di sebelah
ventral lobus penis bagian paling kranial. Alat
penggantung testes adalah mesorchium. Pada musim kawin ukurannya
membesar. Di sinilah dibuat dan disimpan spermatozoa (Dahlan, 2011: 1).
Saluran reproduksi. Tubulus
mesonefrus membentuk duktus aferen dan epididimis. Duktus wolf bergelung dan
membentuk duktus deferen. Duktus deferen bagian distal yang sangat panjang
membentuk sebuah gelendong yang disebut glomere. Dekat glomere bagian posterior
dari duktus aferen berdilatasi membentuk duktus ampula yang bermuara di kloaka
sebagai duktus ejakulatori.duktus eferen berhubungan dengan epididimis yang
kecil kemudian menuju duktud deferen. Duktus deferen tidak ada hubungannya dengan
ureter ketika masuk kloaka (Dahlan, 2011: 1).
Epididimis
berjumlah sepasang, berukuran kecil terletak pada sisi dorsal testis,
epididimis ini adalah berupa saluran yang di lewati sperma dan menuju ke ductus
deferens (Dahlan,
2011: 1).
Ductus deferens
berjumlah sepasang berfungsi sebagai saluran spermatozoa dari testis ke
penis. Pada burung muda tampak halus, sedang pada burung tua nampak
berkelok-kelok berjalan ke caudal menyilangi ureter kemudian bermuara pada
urodaeum (Dahlan,
2011: 1).
Vesicula seminalis yang merupakan
gelembung kecil bersifat kelenjar sebagai tempat penampungan sementara sperma
sebelum dituangkan melalui papil yang terletak pada cloaka pada beberapa
spesies memiliki penis sebagai alat untuk menuangkan sperma ke kloaka hewan
betina. Sistem Genitalia betina. Ovarium yang berkembang hanya yang kiri, dan
terletak di bagian dorsal rongga abdomen. Ovarium kanan tidak tumbuh sempurna
dan tetap kecil yang disebut rudimenter. Ovarium dilekati oleh suatu corong
penerima ovum yang dilanjutkan oleh oviduk. Ujung oviduk membesar menjadi
uterus yang bermuara pada kloaka (Dahlan, 2011: 1).
Saluran reproduksi, oviduk yang berkembang hanya yang
sebelah kiri, bentuknya panjang, bergulung, dilekatkan pada dinding tubuh oleh
mesosilfing dan dibagi menjadi beberapa bagian; bagian anterior adalah
infundibulumyang punya bagian terbuka yang mengarah ke rongga selom sebagai
ostium yang dikelilingi oleh fimbre-fimbre. Di posteriornya adalah magnum yang
akan mensekresikan albumin, selanjutnya istmus yang mensekresikan membrane sel
telur dalam dan luar. Uterus atau shell gland untuk menghasilkan cangkang kapur
(Dahlan, 2011: 1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar